Jumat, 05 Desember 2008

HASIL Rumusan Rakernas 2007 Bidang Pidana



Mahkamah Agung RI pada tahun 2007 (tanggal 2-6 September) telah melaksanakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) dengan Pengadilan Tingkat Banding dan Pengadilan Tingkat Pertama Ibu Kota Provinsi di Makassar.
Yang menjadi perhatian peserta Rakernas MA-RI (2007) tersebut adalah penerapan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi - khususnya Rumusan Hasil Diskusi Kelompok Bidang Pidana - yaitu Masalah Penerapan Pasal 14 Undang-undang (UU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001).
Tim Perumus Bidang Pidana diketuai oleh Hakim Agung Prof. DR. Komariah Emong Sapardjaja, SH dan Hakim H. Zahrul Rabain,S.H.,M.H. (Ketua PN. Pekanbaru) sebagai Sekretaris. Hasil perumusan bidang Pidana (Makassar, 4 September 2007) antara lain sebagaimana akan diuraikan di bawah ini.
posted by Albert Usada

Rakernas MA-RI 2007 Bidang Pidana:
Hasil perumusan diskusi kelompok mengenai "Penerapan Pasal 14 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 dalam kaitannya dengan Administrative Penal Law".

A. PENDAPAT PEMAPAR (Ketua Muda bidang Pidana MA-RI)
1. a. "Administrative Penal Law" adalah peraturan perundang-undangan yang berdimensi hukum administrasi negara yang memiliki sanksi pidana (kriminalisasi hukum administrasi negara);
b. "Administrative Penal Law" adalah semua produk legislasi berupa perundang-undangan (dalam lingkup) administrasi negara yang memiliki sanksi pidana.

2. "Administrative Penal Law" dapat ditinjau dari 3 (tiga) aspek hukum yang masing-masing memiliki "materiele sphere dan ruang lingkup", yakni:
- Aspek hukum administrasi (menyangkut masalah prosedural administratif);
- Aspek hukum perdata (menyangkut apakah ada pihak yang dirugikan dan upaya ganti rugi melalui litigasi dan non litigasi);
- Aspek hukum pidana (menyangkut adanya perbuatan pidana / tindak pidana (materiele handeling) yang diatur secara limitatif dalam perundang-undangan).

3. "Administrative Penal Law" sering menimbulkan persepsi yang berbeda apabila ditinjau dari sudut pandang pengimplementasiannya, yakni:
- Perspektif Normatif;
- Perspektif Teoritik;
- Perspektif Praktik Peradilan;
- Perspektif Ranah Penegakan Hukum (Law Enforcement).

4. Masalah pokok yang dihadapi terkait dengan "Administrative Penal Law" adalah: "apakah pelanggaran terhadap Administrative Penal Law dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi karena adanya perbuatan materiil (materiele daad) yang sama, dalam prespektif pelanggaran beberapa perundang-undangan?" sedangkan, masalah-masalah khusus yang dijumpai, misalnya adalah "apakah tepat jika tindak pidana dalam bidang perpajakan atau perbankan (Administrative Penal Law) dapat dikorelasikan dengan tindak pidana korupsi?”

5. Terhadap masalah-masalah hukum (pokok maupun khusus sebagaimana tersebut di atas), solusi hukumnya adalah:
a.pada prinsipnya, suatu kebijakan merupakan persoalan "kebebasan kebijakan" atau "beleidsvrijheid" atau "freies ermessen" dari aparatur negara dalam melaksanakan tugas publiknya, sehingga tidak dapat dinilai oleh Hakim pidana ataupun Hakim perdata;
b. Administrative Penal Law tidak termasuk dalam domain tindak pidana korupsi jika dihubungkan dengan aplikasi kebijakan (baik Beleidsvrijheid dan Wijsheid, Freies ermessen maupun Beleidsregels). Kebijakan-kebijakan tersebut hanya tunduk dan dinilai dari segi hukum administrasi dan hukum tata negara, tidak dapat dinilai oleh Hakim baik dari segi penerapan hukum publik (hukum pidana) maupun dari segi hukum privat (hukum perdata), karena kebijakan administrasi ini parameter hukumnya hanya bisa dinilai dari aspek rechtmatigheid clan bukan doelmatigheid.
c. Tidak pula dapat diterapkan perundang-undangan korupsi karena "Administrative Penal Law" menyangkut produk kebijakan-kebijakan yang diberikan kewenangannya oleh hukum administrasi negara.

6. a. Beleidsvrijheid dan Wijsheid dimiliki oleh setiap Pejabat Penyelenggara Negara yang memiliki kewenangan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang ada; pembatasan terhadap Beleidsvrijheid berlaku apabila terdapat perbuatan yang masuk kategori penyalahgunaan wewenang (detournment de pouvoir) dan perbuatan sewenang-wenang abus de droit). Penyelesaian terhadap penyimpangan ini adalah melalui peradilan administrasi / tata usaha negara.
b. Freies ermessen digunakan oleh Pejabat / Penyelenggara Negara untuk bertindak dalam rangka penyelesaian keadaan penting dan mendesak yang timbul dan dihadapi dalam praktik penyelenggaraan negara, serta harus dijalankan demi tercapainya tujuan negara. Tolok ukur pembatasan penggunaan Freies ermessen adalah parameter azas-azas umum pemerintahan yang baik (AAUPB);
c. Beleidsregels tidak boleh melampaui atau menghapuskan hirarki perundang-undangan, karenanya Beleidsregels berada diluar hirarki perundang-undangan.
Ketiga bentuk kebijakan tersebut tidak dapat dinilai oleh hakim dalam perkara korupsi, pidana dan perdata, karena merupakan domain hukum administrasi negara.

7.Kewenangan diskresioner aparatur negara (berupa ketiga bentuk kebijakan tersebut di atas) yang dilakukan dalam kerangka batas-batas asas-asas umum pemerintahan yang balk (algemene beginselen van behoorlijk bestuur) sehingga sifatnya overheidsbeleid merupakan domain dari hukum administrasi negara dan tidak merupakan yurisdiksi dari makna "menyalahgunakan kewenangan" maupun dimensi "melawan Hukum" (baik melawan hukum formal dan melawan hukum materiel dalam hukum pidana, khususnya terhadap tindak pidana korupsi.

8.Peraturan perundang-undangan yang berdimensi "Administrative Penal Law" harus diterapkan secara tersendiri dengan berlaku azas Logische Specialiteit yakni azas kekhususan yang logis, artinya keberadaan undang-¬undang sebagai kebijakan legislasi. Hal ini sesuai dengan stufen bouw theory dari Hans Kelsen bahwa peraturan perundang-undangan yang memiliki karakter dan dimensi tersendiri tidak boleh dicampuradukkan antara satu dengan yang lainnya. Sejalan pula dengan prinsip Lex specialis Systematic derogat lex generali (azas kekhususan yang sistematis). Artinya ketentuan pidana yang bersifat khusus adalah berlaku apabila pembentuk undang-undang memang bermaksud untuk memberlakukan ketentuan pidana tersebut sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus.

9.Sering terjadi kekeliruan penerapan hukum berkenaan dengan dakwaan Jaksa / Penuntut Umum yang selalu memandang bahwa bila terjadi kerugian Negara atau kerugian perekonomian Negara, maka berlaku ketentuan perundang-undangan pemberantasan korupsi, padahal menurut hukum tidak semua perbuatan / delik yang menimbulkan kerugian negara adalah korupsi.

10.Tidak relevan untuk mengaitkan antara tindak pidana pajak, tindak pidana perbankan, tindakan pidana lingkungan hidup dan seterusnya sebagai tindak pidana korupsi. Karena, berdasarkan azas lex specialis sistematic derogat lex generali, pelanggaran terhadap perundang-undangan administrative yang bersanksi pidana (Adomain dari tindak pidana pada perundangan-undangan administratif terkait, bukan merupakan domain dari tindak pidana korupsi.

11.Untuk mengantisipasi kekeliruan penerapan hukum oleh Jaksa / Penuntut Umum sebagaimana dimaksud di atas, dibutuhkan kesamaan persepsi diantara para hakim di semua tingkatan peradilan mengenai keberlakuan azas lex specialis sistematic derogat lex generali dalam konteks Administrative Penal Law.

PENDAPAT YANG BERKEMBANG DALAM DISKUSI KELOMPOK PIDANA
1. Ketentuan Pasal 14 undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo. UU No. 20 Tahun 2001 tidak secara mutlak menjadikan undang-undang tersebut tidak dapat diterapkan terhadap perbuatan pidana yang terdapat dalam rumpun “Administrative Penal Law". Sepanjang perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur dari perumusan delik / tindak pidana korupsi, maka terhadap perbuatan pidana tersebut tetap dapat diterapkan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR).
2. Undang-undang TIPIKOR tetap dapat diterapkan apabila dalam pelaksanaan overheidsbeleid, beleidvrijheids, maupun wijsheids terjadi penyimpangan terhadap azas doelgerichte.
3. Walaupun dalam praktiknya terjadi dualisme dalam penegakan hukum (perkara yang diproses oleh kejaksaan dan yang diproses oleh kepolisian), maka hakim pidana tetap dapat menilai overheidsbeleid, beleidvrijheids maupun Wijsheids terhadap dakwaan yang diajukan oleh Jaksa / Penuntut Umum.
4. Diharapkan para hakim yang memeriksa perkara Korupsi agar lebih mencermati diterapkannya azas "lex specialis sistematic derogat lex generali”, guna menghindari pandangan bahwa seolah-olah badan peradilan tidak responsif dan aspiratif terhadap usaha pemberantasan tindak pidana korupsi.

PS:
Hasil Rumusan Bidang Pidana tersebut erat berkait dengan Hasil Rumusan Bidang Tindak Pidana Khusus - terutama dalam hal masalah-masalah pelaku delik korupsi - yaitu Pejabat Pegawai Negeri yang didakwa ketentuan pidana Pasal 2 atau Pasal 3 UU No. 19 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, penerapan sistem pemidanaan hukuman pokok pidana penjara dan hukuman (pidana) tambahan berupa pembayaran uang pengganti subsidair - pidana penjara pengganti - dalam hubungannya dengan ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan (3), penerapan ketentuan Pasal 14A KUHP dalam perkara korupsi, ketentuan batas minimal dan maksimal pemidanaan yang tidak dapat disimpangi Hakim, ketentuan alternatif pidana yang dapat dijatuhkan oleh Hakim, dan bagaimana sikap Hakim dalam hal jika terjadi perubahan surat Dakwaan oleh Penuntut Umum, yang lebih lanjut akan disajikan pada posting berikutnya.
Tentang Hasil Rumusan teknis yudisial Bidang-bidang: Perdata, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer dapat dibaca kembali secara lengkap pada Majalah Hukum Varia Peradilan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Tahun XXII No. 263 Oktober 2007, h. 129-147.