Minggu, 22 Februari 2009

Pendalaman Materi Hukum Tipikor


Kerugian Keuangan Negara & Praktik Penerapan Dalam Putusan Hakim

Oleh Albert Usada

BAGAIMANA suatu kerugian keuangan negara dihitung dalam suatu perkara korupsi? Bagaimana Hakim memformulasikan pertimbangan hukumnya tentang pembuktian ”kerugian keuangan negara” sebagai unsur delik korupsi melalui putusannya?

Dua pertanyaan itu mengingatkan saya untuk mendalaminya melalui metode ”learning by doing”. Yaitu, ketika saya dan rekan-rekan seangkatan tengah mengikuti Sertifikasi Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (pengadilan tipikor) pada Pelatihan Hakim dalam Perkara Korupsi Angkatan V di Ciawi Bogor (14 Oktober -1 November 2008) yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung RI.

Dua pertanyaan itu juga mengingatkan diri saya untuk kembali membuka Catatan Kecil - ketika saya dan rekan-rekan Hakim peserta menerima pencerahan dari Hakim Agung DR. Artidjo Alkostar, SH LLM bersama Hakim Agung Prof. DR. Komariah E. Sapardjaja, SH dalam sesi Diskusi Kelompok C-1 dan Diskusi Kelas C pada pelatihan tersebut.


Dalam perspektif Hakim, pembuktian masalah ”kerugian keuangan negara” akan didasarkan pada hal-hal yang relevan (dengan pokok perkara) secara yuridis yang terungkap sah di persidangan. Hakim Agung Artijo Alkostar memberi contoh: hasil perhitungan atau hasil audit investigasi dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai salah satu pihak intansional yang berkompeten dan memiliki keahlian (lege artis) dalam menentukan kerugian keuangan negara.


Hasil Audit BPKP itu merupakan bukti atau keterangan yang bersifat instansional - yang bagi Hakim akan lebih meyakinkan dibandingkan dengan yang bersifat personal.

Dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi - sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, secara yuridis menentukan pengertian Keuangan Negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:

a) berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah;

b) berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara (BMN) / Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.


Lalu bagaimana pembuktian keuangan negara dalam hubungannya dengan tindak pidana korupsi (tipikor)?

Hakim Agung Artidjo Alkostar menjelaskan bahwa dalam hubungannya dengan tipikor, ”yang harus dibuktikan yaitu kerugian keuangan negara tersebut apakah mempunyai hubungan sebab-akibat (kausalitas) dengan perbuatan Terdakwa,”.


Lebih lanjut dijelaskan Hakim Agung Artidjo Alkostar, bahwa dalam kerangka teori, hubungan kausal dapat dilihat dari adanya hubungan sebagai berikut:

(a) dari sebab ke akibat (a priori), misalnya: perbuatan bupati yang menggunakan uang/dana APBD untuk kepentingan pribadi mengakibatkan kerugian keuangan negara;

(b) dari akibat ke sebab (a posteriori), misalnya: suantu bangunan sekolah ambruk disebabkan oleh perbuatan penanggungjawab pembangunan yang mengambil sebagian dari anggaran pembangunan sekolah itu untuk kepentingan pribadi;

(c) dari akibat ke akibat, misalnya: dengan banyaknya uang negara yang dikorupsi ternyata mengakibatkan juga banyak anak usia sekolah tidak dapat melanjutkan sekolahnya karena biaya sekolah mahal.


Dalam praktik peradilan, dapat kita simak Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2027 K/Pid/2008 yang telah berkekuatan hukum tetap (vide dan bdk: Artidjo Alkostar dalam Varia Peradilan, Majalah Hukum Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Tahun XXIII Nomor 275 Oktober 2008, h. 33-41), yang dapat saya formulasikan Kaidah Hukum-nya sebagai berikut:

- bahwa kerugian keuangan negara dihitung berdasarkan kerugian yang timbul dari perbuatan Terdakwa dalam jumlah tertentu setelah dikurangi jumlah biaya yang telah dilaksanakan,”; dan

- bahwa dalam hal Terdakwa-nya lebih dari satu orang, maka kewajiban membayar uang pengganti harus ditanggung oleh para Terdakwa tersebut sesuai posisi peran dan porsi kerugian keuangan negara yang menjadi tanggungjawabnya masing-masing Terdakwa tersebut”.

Bagi saya, sangat menarik untuk dicatat pertimbangan hukum (legal reasoning) Majelis Kasasi perkara korupsi Nomor 2027 K/Pid/2005, yang pada pokoknya dapat disarikan sebagai berikut:

a. Terdakwa selaku Pimpinan Proyek bersama-sama dan bersepakat dengan SAH selaku Direktur Pelaksana Pekerjaan / Kontraktor dan Ir. SAB Konsultan Pengawas telah menyatakan bahwa proyek sudah selesai 100%, padahal telah diketahui pelaksanaan pekerjaan baru 11,970%;

b. Atas dasar Berita Acara Kemajuan Pekerjaan dan Laporan, Terdakwa mengajukan Permintaan Pembayaran ke KPKPN untuk termijn 100% dan retensi 5%, padahal Terdakwa mengetahui pekerjaan baru 11.970% sesuai laporan Terdakwa Ir. SBH ;

c. Atas dasar permintaan Terdakwa tersebut, KPKPN telah menerbitkan SPM sebesar Rp. 1.387.784.543,00 ke rekening Giro atas nama PT. SAP, padahal seharusnya ia hanya berhak atas pembayaran 11,970% sebesar Rp. 379.031.974,00;

d. Adanya surat dari Menteri Tenaga Kerja dan Nota Dinas Irjen Depnaker & Transmigrasi tentang tidak adanya kerugian keuangan negara proyek telah selesai 100% tidak menghilangkan sifat melawan hukum perbuatan Terdakwa dan bukan merupakan alasan pembenar.

Berdasarkan alasan dan pertimbangan hukum tersebut, Majelis Kasasi akhirnya menyimpulkan (summa summarum) bahwa unsur delik memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara telah terpenuhi - sehingga Dakwaan Primair Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP telah terpenuhi, dan oleh karena itu Terdakwa dinyatakan telah terbukti secara sah dan meakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi.


Jadi, berapakah kerugian keuangan negara yang terbukti dan bersifat nyata dalam perkara Nomor 2027 K/Pid/2008?

Kerugian keuangan negara sebagai akibat dari perbuatan para Terdakwa dikurangi dari jumlah biaya yang telah dilaksanakan (nyata):

Rp. 1.387.74.543,00 - Rp. 379.031.974,00 = Rp. 1.008.752.749,00 yang kemudian dkurangi lagi dari uang yang disita dan menjadi barang bukti atau sebagian yang dikembalikan, menjadi Rp. 830.109.606,00 yang dicantumkan dalam amar putusan sebagai pidana tambahan berupa membayar uang pengganti yang harus ditanggung bersama oleh para Terdakwa.


Amar Putusan

- Menyatakan Terdakwa Ir. SE terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut;

- Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Ir. SE dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun;

- Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

- Memerintahkan agar Terdakwa tetap ditahan;

- Menghukum Terdakwa membayar denda sebesar Rp. 2000.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan kurungan selama 6 (enam) bulan;

- Menghukum Terdakwa membayar uang pengangti sebesar Rp. 830.109.606,00 (delapan ratus tiga puluh juta seratus sembilan ribu enam ratus enam rupiah), ditanggung bersama-sama oleh Terdakwa Ir. SE, Ir. SAB dan SAH, jika Terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama satu bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dan jika Terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut maka dipidana penjara selama 2 (dua) tahun.

- ... dst ...”

Link Terkait dalam Blog ini:

Jenis Audit BPKP >>>

Kerugian Keuangan Negara >>>

Akuntabilitas Keuangan Negara >>>

Cara Menentukan Kerugian Negara >>>

Memahami UU Tipikor (DR. Satriyo Mukantarjo - FH UI) >>>

Hakim Pengadilan Tipikor Perlu Ditambah >>>

Penemuan Hukum oleh Hakim (Prof. Sudikno Mertokusumo - FH UGM) >>>

Metode Interpretasi dan Kepastian Hukum (Ramelan, SH) >>>

Strategi Pemberantasan Korupsi >>>


Demikian, kiranya dapat kita petik bersama hikmat kebijaksanaannya.

======