Sabtu, 13 Desember 2008

BPKP: Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Negara, Jenis Audit & Strategi Pemberantasan Korupsi



JENIS Audit yang Dilaksanakan BPKP
posted by Udin

BADAN Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sesuai tugas pokok dan fungsinya adalah melakukan audit atau pemeriksaan terhadap pengelolaan keuangan Negara. Jenis audit yang dilaksanakan oleh BPKP, antara lain:

Audit Keuangan (Financial Audit)
Audit yang dilakukan terhadap laporan keuangan perusahaan dengan tujuan untuk menilai kelayakan/kewajaran atas penyajian laporan keuangan (opini).

Audit Kinerja (Performance Audit)
Audit yang dilakukan untuk menilai pencapaian kinerja suatu entitas/organisasi.

Audit Operasional (Operational Audit)
Audit yang dilakukan secara selektif dan sistematis terhadap kegiatan-kegiatan tertentu dengan tujuan untuk mengidentifikasi kelemahan dan memberikan saran perbaikan, sehingga tujuan dapat dicapai.

Audit Investigasi (Investigative Audit)
Audit yang dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan tertentu yang berindikasi Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

STRATEGI Pemberantasan Korupsi
Strategi ini berkait erat dengan solusi atas permasalahan akuntabilitas pengelolaan keuangan Negara, sebagai berikut:

Strategi preemptif yaitu memberikan kesadaran kepada masyarakat (public awareness) atau pencerahan kepada masyarakat untuk peduli terhadap masalah korupsi dan cara-cara mengatasinya.

Strategi preventif yaitu membangun sistem yang dapat mencegah dan mendeteksi (prevention and detection) perbuatan korupsi sesegera mungkin.

 Strategi represif yaitu upaya pemberantasan korupsi melalui audit investigatif atas kasus-kasus yang diduga mengandung penyimpangan yang merugikan keuangan negara

Senin, 08 Desember 2008

International Anti-Corruption Day - December 9, 2008





Events of Indonesia Anti-Corruption Day
posted by Albert Usada

The United Nations Convention against Corruption (UNCAC) was adopted in Merida, Mexico, in December 2003. Ecuador became the thirtieth country to ratify the Convention on 15 September this year, and, as a result, it will enter into force on 14 December. As the first legally binding, international anti-corruption instrument, this Convention provides a unique opportunity to mount a global response to the vast problem of corruption.

Also, the UNCAC adopted in December 2005, is promoted as the key tool to fight corruption worldwide. As part of its ‘Corruption - Your NO Counts’ campaign,
The United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) has produced a video spot to illustrate that people are not simply at the mercy of corruption and often have the power to say NO

Indonesia's Agenda
From 1 to 10 December, UNODC Indonesia and the University of Indonesia will carry out a series of activities to mark the anti-corruption day. These activities includes a talk show, an interactive campaign, a panel discussion on the future of anti-corruption efforts in the country, and a lecture focusing on perspectives on corruption.

On 9 December, UNODC Indonesia and the Corruption Eradication Commission (Komisi Pemberantasan Korupsi - KPK) are organizing an event where the President will participate in a declaration against corruption with over 1000 invitees.

So, We know that the Secretary-General of the United Nations (Mr. Ban Ki-Moon) has message on International Anti-Corruption Day - 9 December 2008 as bellow:

"The world is reeling from a global financial crisis, caused in part by greed and corruption. Confidence in the financial system has been battered. The integrity of many banks has been called into question. Many people have lost their life savings."

"This is bad enough, yet another, silent financial crisis afflicting the world's poorest people attracts far less attention. Every year across the developing world, billions of dollars that are badly needed for health care, schools, clean water and infrastructure are stolen or lost through bribes and other misdeeds. This makes it harder to provide basic services and achieve the Millennium Development Goals. It denies people their fundamental human rights."

"The United Nations is fighting back. The UN Convention against Corruption, which came into force in December 2005, contains strong measures for building integrity and fighting corruption that apply to both the public and private sectors. There is an urgent need to make the Convention work and become the global norm. I look forward to the establishment of a robust mechanism to review implementation of the Convention, which is expected to be adopted by the next conference of States Parties."

"The global financial crisis also underlines the need for greater regulation. Under the Convention, bank secrecy is no longer an impediment to recovering stolen assets. The World Bank and the UN Office on Drugs and Crime are making important progress in helping States to get their money back through the Stolen Asset Recovery Initiative."

"It is not only governments and financial institutions that need to do more to prevent corruption and strengthen integrity. Corruption affects us all. It weakens democratic institutions, undermines the rule of law and enables terrorists to finance their nefarious work. On this International Day, let us all do our part to strengthen integrity, play by the rules, and turn the tide against this global menace. As UNODC's anti-corruption campaign states, your "no" counts."

Sabtu, 06 Desember 2008

December 9, The International Day Anti-Corruption Day



The International Anti-Corruption Day
posted by Albert Usada

As we know, that December 9 moment as the occasion of the International Day against Corruption. The Republic of Indonesia is a part of the countries in the United Nation (UN) Convention against Corruption (UNCAC, 2005).
The Convention subjects all the State Parties to the same scrutiny and sets clear rules to be applied equally to all. Especially for the Republic of Indonesia by the Rule ratification on The Rule of 2006 Number 7.

December 9, International Anti-Corruption Day
posted by Albert Usada

Attitudes on corruption are changing. As recently as ten years ago, corruption was only whispered about. Today there are signs of growing intolerance toward corruption and more and more politicians and chief executives are being tried and convicted.
The United Nations Convention against Corruption - which entered into force in December 2005 - is both a cause and an effect of this trend. Its provisions are the most comprehensive, universal and even-handed measures for tackling this global challenge. The Convention subjects all the State Parties to the same scrutiny and sets clear rules to be applied equally to all.

The aim of UNODC's 2007-2008 anti-corruption communication campaign is to support this positive and pro-active stance against corruption. The United Nations Convention against Corruption will be promoted as the key tool to fight corruption worldwide and as the impetus for a global and forceful movement.

Please use the material below in your anti-corruption efforts. Statement by UNODC Executive Director Antonio Maria Costa.

Leaflet Anti-Corruption

Logos and Slogans UNCAC

Poster UNCAC & UNDOC

Source: www.unodc.org

Jumat, 05 Desember 2008

HASIL Rumusan Rakernas 2007 Bidang Pidana



Mahkamah Agung RI pada tahun 2007 (tanggal 2-6 September) telah melaksanakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) dengan Pengadilan Tingkat Banding dan Pengadilan Tingkat Pertama Ibu Kota Provinsi di Makassar.
Yang menjadi perhatian peserta Rakernas MA-RI (2007) tersebut adalah penerapan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi - khususnya Rumusan Hasil Diskusi Kelompok Bidang Pidana - yaitu Masalah Penerapan Pasal 14 Undang-undang (UU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001).
Tim Perumus Bidang Pidana diketuai oleh Hakim Agung Prof. DR. Komariah Emong Sapardjaja, SH dan Hakim H. Zahrul Rabain,S.H.,M.H. (Ketua PN. Pekanbaru) sebagai Sekretaris. Hasil perumusan bidang Pidana (Makassar, 4 September 2007) antara lain sebagaimana akan diuraikan di bawah ini.
posted by Albert Usada

Rakernas MA-RI 2007 Bidang Pidana:
Hasil perumusan diskusi kelompok mengenai "Penerapan Pasal 14 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 dalam kaitannya dengan Administrative Penal Law".

A. PENDAPAT PEMAPAR (Ketua Muda bidang Pidana MA-RI)
1. a. "Administrative Penal Law" adalah peraturan perundang-undangan yang berdimensi hukum administrasi negara yang memiliki sanksi pidana (kriminalisasi hukum administrasi negara);
b. "Administrative Penal Law" adalah semua produk legislasi berupa perundang-undangan (dalam lingkup) administrasi negara yang memiliki sanksi pidana.

2. "Administrative Penal Law" dapat ditinjau dari 3 (tiga) aspek hukum yang masing-masing memiliki "materiele sphere dan ruang lingkup", yakni:
- Aspek hukum administrasi (menyangkut masalah prosedural administratif);
- Aspek hukum perdata (menyangkut apakah ada pihak yang dirugikan dan upaya ganti rugi melalui litigasi dan non litigasi);
- Aspek hukum pidana (menyangkut adanya perbuatan pidana / tindak pidana (materiele handeling) yang diatur secara limitatif dalam perundang-undangan).

3. "Administrative Penal Law" sering menimbulkan persepsi yang berbeda apabila ditinjau dari sudut pandang pengimplementasiannya, yakni:
- Perspektif Normatif;
- Perspektif Teoritik;
- Perspektif Praktik Peradilan;
- Perspektif Ranah Penegakan Hukum (Law Enforcement).

4. Masalah pokok yang dihadapi terkait dengan "Administrative Penal Law" adalah: "apakah pelanggaran terhadap Administrative Penal Law dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi karena adanya perbuatan materiil (materiele daad) yang sama, dalam prespektif pelanggaran beberapa perundang-undangan?" sedangkan, masalah-masalah khusus yang dijumpai, misalnya adalah "apakah tepat jika tindak pidana dalam bidang perpajakan atau perbankan (Administrative Penal Law) dapat dikorelasikan dengan tindak pidana korupsi?”

5. Terhadap masalah-masalah hukum (pokok maupun khusus sebagaimana tersebut di atas), solusi hukumnya adalah:
a.pada prinsipnya, suatu kebijakan merupakan persoalan "kebebasan kebijakan" atau "beleidsvrijheid" atau "freies ermessen" dari aparatur negara dalam melaksanakan tugas publiknya, sehingga tidak dapat dinilai oleh Hakim pidana ataupun Hakim perdata;
b. Administrative Penal Law tidak termasuk dalam domain tindak pidana korupsi jika dihubungkan dengan aplikasi kebijakan (baik Beleidsvrijheid dan Wijsheid, Freies ermessen maupun Beleidsregels). Kebijakan-kebijakan tersebut hanya tunduk dan dinilai dari segi hukum administrasi dan hukum tata negara, tidak dapat dinilai oleh Hakim baik dari segi penerapan hukum publik (hukum pidana) maupun dari segi hukum privat (hukum perdata), karena kebijakan administrasi ini parameter hukumnya hanya bisa dinilai dari aspek rechtmatigheid clan bukan doelmatigheid.
c. Tidak pula dapat diterapkan perundang-undangan korupsi karena "Administrative Penal Law" menyangkut produk kebijakan-kebijakan yang diberikan kewenangannya oleh hukum administrasi negara.

6. a. Beleidsvrijheid dan Wijsheid dimiliki oleh setiap Pejabat Penyelenggara Negara yang memiliki kewenangan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang ada; pembatasan terhadap Beleidsvrijheid berlaku apabila terdapat perbuatan yang masuk kategori penyalahgunaan wewenang (detournment de pouvoir) dan perbuatan sewenang-wenang abus de droit). Penyelesaian terhadap penyimpangan ini adalah melalui peradilan administrasi / tata usaha negara.
b. Freies ermessen digunakan oleh Pejabat / Penyelenggara Negara untuk bertindak dalam rangka penyelesaian keadaan penting dan mendesak yang timbul dan dihadapi dalam praktik penyelenggaraan negara, serta harus dijalankan demi tercapainya tujuan negara. Tolok ukur pembatasan penggunaan Freies ermessen adalah parameter azas-azas umum pemerintahan yang baik (AAUPB);
c. Beleidsregels tidak boleh melampaui atau menghapuskan hirarki perundang-undangan, karenanya Beleidsregels berada diluar hirarki perundang-undangan.
Ketiga bentuk kebijakan tersebut tidak dapat dinilai oleh hakim dalam perkara korupsi, pidana dan perdata, karena merupakan domain hukum administrasi negara.

7.Kewenangan diskresioner aparatur negara (berupa ketiga bentuk kebijakan tersebut di atas) yang dilakukan dalam kerangka batas-batas asas-asas umum pemerintahan yang balk (algemene beginselen van behoorlijk bestuur) sehingga sifatnya overheidsbeleid merupakan domain dari hukum administrasi negara dan tidak merupakan yurisdiksi dari makna "menyalahgunakan kewenangan" maupun dimensi "melawan Hukum" (baik melawan hukum formal dan melawan hukum materiel dalam hukum pidana, khususnya terhadap tindak pidana korupsi.

8.Peraturan perundang-undangan yang berdimensi "Administrative Penal Law" harus diterapkan secara tersendiri dengan berlaku azas Logische Specialiteit yakni azas kekhususan yang logis, artinya keberadaan undang-¬undang sebagai kebijakan legislasi. Hal ini sesuai dengan stufen bouw theory dari Hans Kelsen bahwa peraturan perundang-undangan yang memiliki karakter dan dimensi tersendiri tidak boleh dicampuradukkan antara satu dengan yang lainnya. Sejalan pula dengan prinsip Lex specialis Systematic derogat lex generali (azas kekhususan yang sistematis). Artinya ketentuan pidana yang bersifat khusus adalah berlaku apabila pembentuk undang-undang memang bermaksud untuk memberlakukan ketentuan pidana tersebut sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus.

9.Sering terjadi kekeliruan penerapan hukum berkenaan dengan dakwaan Jaksa / Penuntut Umum yang selalu memandang bahwa bila terjadi kerugian Negara atau kerugian perekonomian Negara, maka berlaku ketentuan perundang-undangan pemberantasan korupsi, padahal menurut hukum tidak semua perbuatan / delik yang menimbulkan kerugian negara adalah korupsi.

10.Tidak relevan untuk mengaitkan antara tindak pidana pajak, tindak pidana perbankan, tindakan pidana lingkungan hidup dan seterusnya sebagai tindak pidana korupsi. Karena, berdasarkan azas lex specialis sistematic derogat lex generali, pelanggaran terhadap perundang-undangan administrative yang bersanksi pidana (Adomain dari tindak pidana pada perundangan-undangan administratif terkait, bukan merupakan domain dari tindak pidana korupsi.

11.Untuk mengantisipasi kekeliruan penerapan hukum oleh Jaksa / Penuntut Umum sebagaimana dimaksud di atas, dibutuhkan kesamaan persepsi diantara para hakim di semua tingkatan peradilan mengenai keberlakuan azas lex specialis sistematic derogat lex generali dalam konteks Administrative Penal Law.

PENDAPAT YANG BERKEMBANG DALAM DISKUSI KELOMPOK PIDANA
1. Ketentuan Pasal 14 undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo. UU No. 20 Tahun 2001 tidak secara mutlak menjadikan undang-undang tersebut tidak dapat diterapkan terhadap perbuatan pidana yang terdapat dalam rumpun “Administrative Penal Law". Sepanjang perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur dari perumusan delik / tindak pidana korupsi, maka terhadap perbuatan pidana tersebut tetap dapat diterapkan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR).
2. Undang-undang TIPIKOR tetap dapat diterapkan apabila dalam pelaksanaan overheidsbeleid, beleidvrijheids, maupun wijsheids terjadi penyimpangan terhadap azas doelgerichte.
3. Walaupun dalam praktiknya terjadi dualisme dalam penegakan hukum (perkara yang diproses oleh kejaksaan dan yang diproses oleh kepolisian), maka hakim pidana tetap dapat menilai overheidsbeleid, beleidvrijheids maupun Wijsheids terhadap dakwaan yang diajukan oleh Jaksa / Penuntut Umum.
4. Diharapkan para hakim yang memeriksa perkara Korupsi agar lebih mencermati diterapkannya azas "lex specialis sistematic derogat lex generali”, guna menghindari pandangan bahwa seolah-olah badan peradilan tidak responsif dan aspiratif terhadap usaha pemberantasan tindak pidana korupsi.

PS:
Hasil Rumusan Bidang Pidana tersebut erat berkait dengan Hasil Rumusan Bidang Tindak Pidana Khusus - terutama dalam hal masalah-masalah pelaku delik korupsi - yaitu Pejabat Pegawai Negeri yang didakwa ketentuan pidana Pasal 2 atau Pasal 3 UU No. 19 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, penerapan sistem pemidanaan hukuman pokok pidana penjara dan hukuman (pidana) tambahan berupa pembayaran uang pengganti subsidair - pidana penjara pengganti - dalam hubungannya dengan ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan (3), penerapan ketentuan Pasal 14A KUHP dalam perkara korupsi, ketentuan batas minimal dan maksimal pemidanaan yang tidak dapat disimpangi Hakim, ketentuan alternatif pidana yang dapat dijatuhkan oleh Hakim, dan bagaimana sikap Hakim dalam hal jika terjadi perubahan surat Dakwaan oleh Penuntut Umum, yang lebih lanjut akan disajikan pada posting berikutnya.
Tentang Hasil Rumusan teknis yudisial Bidang-bidang: Perdata, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer dapat dibaca kembali secara lengkap pada Majalah Hukum Varia Peradilan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Tahun XXII No. 263 Oktober 2007, h. 129-147.

Selasa, 02 Desember 2008

KERUGIAN NEGARA & Tindak Pidana Korupsi


KERUGIAN Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi
oleh Yunus Husein (Kepala PPATK)

DARI sejumlah pasal yang mengatur tindak pidana korupsi, hanya dua pasal yang mengatur tindak pidana korupsi (tipikor) yang merumuskan tentang "merugikan keuangan negara", yaitu Pasal 2 dan 3 UU No 31/1999 dan perubahannya. Walaupun hanya dua pasal, pasal ini sangat favorit dipakai untuk menjerat para pelaku korupsi yang secara keseluruhan telah menimbulkan kerugian negara hingga triliunan rupiah. Ada beberapa pasal yang tidak mengaitkan korupsi dengan keuangan negara, misalnya pasal tentang penyuapan.
Seorang pejabat yang menerima suap dari seseorang tidak dapat dikatakan merugikan keuangan negara. Bahkan dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang sudah diratifikasi dengan UU No 7/2006,unsur kerugian negara tidak dimasukkan lagi sebagai salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi.
Walaupun demikian, UU No 31/1999 dan perubahannya masih mencantumkan kerugian negara sebagai salah satu unsur korupsi. Tulisan ini menjelaskan berbagai aspek yang terkait dengan masalah kerugian negara dalam tindak pidana korupsi.

Terjadinya Kerugian Negara
Ada beberapa cara terjadinya kerugian negara, yaitu kerugian negara yang terkait dengan berbagai transaksi: transaksi barang dan jasa, transaksi yang terkait dengan utang-piutang, dan transaksi yang terkait dengan biaya dan pendapatan. Tiga kemungkinan terjadinya kerugian negara tersebut menimbulkan beberapa kemungkinan peristiwa yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Pertama, terdapat pengadaan barang dengan harga yang tidak wajar karena jauh di atas harga pasar, sehingga dapat merugikan keuangan negara sebesar selisih harga pembelian dengan harga pasar atau harga yang wajar. Korupsi di dalam proses pengadaan barang dan jasa inilah yang paling banyak terjadi di Indonesia. Sering kali proses pengadaan barang dan jasa diikuti dengan adanya suap atau kickbackdari peserta tender kepada pejabat negara.
Kedua, harga pengadaan barang dan jasa wajar. Wajar tetapi tidak sesuai dengan spesifikasi barang dan jasa yang dipersyaratkan. Kalau harga barang dan jasa murah, tetapi kualitas barang dan jasa itu kurang baik, maka dapat dikatakan juga merugikan keuangan negara.
Ketiga, terdapat transaksi yang memperbesar utang negara secara tidak wajar, sehingga dapat dikatakan merugikan keuangan negara karena kewajiban negara untuk membayar hutang semakin besar. Misalnya pada waktu yang lalu pernah terjadi sebuah bank swasta yang saham mayoritasnya Bank Indonesia menjamin surat-surat berharga dalam jumlah miliaran rupiah yang diterbitkan grup bank tersebut.
Ketika surat berharga jatuh waktu, penerbit surat berharga tidak mampu membayar, sehingga bank sebagai penjamin harus membayar. Akibatnya, jumlah utang bank tersebut semakin besar dan menjadi beban bagi pemiliknya untuk membantu penyelesaiannya. Keempat, piutang negara berkurang secara tidak wajar dapat juga dikatakan merugikan keuangan negara.
Kelima,kerugian negara dapat terjadi kalau aset negara berkurang karena dijual dengan harga yang murah atau dihibahkan kepada pihak lain atau ditukar dengan pihak swasta atau perorangan (ruilslag). Dapat juga terjadi aset negara yang tidak boleh dijual, tetapi kemudian dijual setelah mengubah kelas aset negara yang akan dijual tersebut menjadi kelas yang lebih rendah, seperti yang pernah terjadi pada salah satu instansi pemerintah beberapa waktu yang lalu.
Modus keenam untuk merugikan negara adalah dengan memperbesar biaya instansi atau perusahaan. Hal ini dapat terjadi baik karena pemborosan maupun dengan cara lain, seperti membuat biaya fiktif. Dengan biaya yang diperbesar, keuntungan perusahaan yang menjadi objek pajak semakin kecil, sehingga negara tidak menerima pemasukan pajak atau menerima pemasukan yang lebih kecil dari yang seharusnya.
Di samping itu, kerugian negara dapat juga timbul dengan cara ketujuh, yaitu hasil penjualan suatu perusahaan dilaporkan lebih kecil dari penjualan sebenarnya,sehingga mengurangi penerimaan resmi perusahaan tersebut. Misalnya dengan melakukan transfer picing, di mana perusahaan menjual barang secara murah kepada perusahaan lain di luar negeri yang masih ada kaitan dengan perusahaan penjual. Akibatnya, penerimaan perusahaan lebih kecil dari seharusnya, sehingga objek pajaknya tidak ada sama sekali atau semakin kecil.

Menentukan Kerugian Negara
Menentukan keberadaan dan besarnya kerugian negara selalu menjadi perdebatan yang sengit antara berbagai pihak, misalnya antara terdakwa dan pembelanya dengan jaksa penuntut umum. Untuk menentukan hal tersebut, selama ini jaksa banyak dibantu ahli dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, atau ahli lain yang ditunjuk.
Sudah tentu keterangan dari ahli ini diberikan berdasarkan keahlian atau setelah melakukan semacam audit khusus terhadap instansi atau perusahaan yang menimbulkan kerugian negara. Kalau kerugian negara ini terkait dengan suatu barang yang sulit untuk dilakukan penilaian, misalnya pabrik petrokimia perlu dilakukan penilaian oleh jasa penilai, sudah tentu untuk melakukan penilaian ini perlu dilakukan dengan metode yang prudence dan baku.
Untuk itu perlu diatur tentang metode yang dapat dilakukan jasa penilai agar diperoleh hasil yang standar yang dapat diterima semua pihak. Keterangan ahli ini diperlukan untuk menjelaskan dan membuktikan kerugian negara yang timbul dan berasal dari berbagai transaksi yang disebutkan di atas yang terkait dengan terdakwa.
Dalam hal ini, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dapat membantu dengan memberikan laporan hasil analisisnya tentang berbagai transaksi yang menimbulkan kerugian negara tersebut. Di samping itu, PPATK juga dapat membantu melihat perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melihat berbagai transaksi dari pihak-pihak yang terkait, misalnya melihat apakah ada penyuapan (kickback) yang diterima seorang pejabat negara.

Mengubah Mindset
Untuk masa yang akan datang sudah saatnyalah untuk mengubah mindset, bahwa tidak perlu mempermasalahkan lagi ada / tidaknya kerugian negara pada suatu tindak pidana korupsi karena beberapa alasan. Pertama, standar internasional seperti yang diatur dalam UNCAC tidak menggunakan unsur kerugian negara di dalam tindak pidana korupsi.
Bahkan, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa ini juga mengatur korupsi di sektor swasta. Kedua, banyak tindak pidana korupsi yang tidak merugikan keuangan negara secara langsung, seperti tindak pidana penyuapan. Dalam hal ini yang dirugikan adalah masyarakat, bukan negara. Walaupun tidak merugikan keuangan negara,dampak tindak pidana suap ini sangat merugikan pelaku pasar yang secara tidak langsung dapat merugikan perekonomian.
Banyaknya suap akan menimbulkan high cost economy yang membuat daya saing pelaku pasar menjadi lemah dan harga barang menjadi lebih mahal. Kesemuanya sudah tentu memberatkan masyarakat. Suap ini sangat merugikan rakyat kecil yang tidak memiliki uang dan kekuasaan.
Ketiga, terdapat perlakuan yang sama antara badan usaha milik negara dan perusahaan swasta kalau terjadi tindak pidana yang melibatkan perusahaan tersebut.Dengan perubahan sikap seperti ini, yang disertai dengan perubahan undang-undang yang terkait, maka pemberantasan korupsi menjadi lebih luas dan lebih adil.
Sumber: www.ppatk.go.id/content.php?s_sid=1453

Senin, 01 Desember 2008

METODE Interpretasi & UU Tindak Pidana Korupsi


Metode Interpretasi dan Jaminan Kepastian Hukum Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Sabtu, 2008 Juli 05
Oleh Ramelan (mantan Jampidum Kejagung) - Staf Ahli PPATK

1. Pendahuluan
Dalam kurun waktu keberadaan negara ini sudah cukup banyak peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi yang dibuat, silih berganti sejalan dengan masa transisi sistem politik dan pemerintahan. Misalnya saja, Peraturan Penguasa Militer Nomor : PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi dan Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor : PRT/PEPERPU/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Penilikan Harta Benda, diundangkan pada situasi politik setelah Republik Indonesia memperoleh kemerdekaan dan sistem politik pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Setelah peraturan Penguasa Perang Pusat (PEPERPU) tersebut yang sifatnya temporer tidak berlaku lagi, kemudian diundangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 (yang disyahkan menjadi Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1961) tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang berada dalam rezim dengan sistem politik dan pemerintahan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 (yang dinyatakan berlaku kembali berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959) yang menggantikan UUD Sementara 1950.

Setelah terjadi perubahan sistem politik Orde Baru (era kekuasaan Soeharto) yang menggantikan politik Orde Lama, (era kekuasaan Soekarno) dilahirkanlah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggantikan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961. Dalam masa perubahan sistem politik era reformasi yang menggantikan sistem politik Orde Baru, dimana masalah korupsi menjadi topik utama menuju perubahan, maka Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 telah dinyatakan tidak berlaku dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Jika dicermati setiap konsideran maupun penjelasan umum dari setiap perubahan dalam Perundang-Undangan tersebut diatas, akan terungkap bahwa setiap pergantian atau perubahan perundang-undangan senantiasa didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang berbunyi bahwa korupsi telah banyak merugikan keuangan dan perekonomian negara, sementara itu perundang-undangan yang ada tidak lagi efektif memberantas tindak pidana korupsi yang semakin meningkat dan kompleks.
Jadi setiap lahirnya Undang-Undang tentang pemberantasan korupsi, senantiasa diiringi harapan bahwa Undang-Undang yang baru akan dapat mengatasi masalah tindak pidana korupsi. Masyarakat dijanjikan akan datangnya zaman baru yang bebas dari korupsi.
Harapan tersebut pada awalnya memang menggembirakan, pemberantasan korupsi dilaksanakan sungguh-sungguh dengan dukungan seluruh lapisan masyarakat. Namun ternyata kemudian, seiring dengan perjalanan waktu ketika pemberantasan korupsi menyentuh hampir seluruh struktur dan sistem masyarakat, kekhawatiran mulai muncul pada sekelompok masyarakat terutama elite kekuasaan, mereka merasa bahwa pada gilirannya akan menjadi target operasi pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dari situasi inilah akan timbul perlawanan baik terang-terangan maupun secara tersembunyi dengan menyusup ke pembuat kebijaksanaan dengan maksud mempengaruhinya sehingga pemberantasan tindak pidana korupsi tidak optimal. Perlawanan secara tidak langsung juga dilakukan melalui isu-isu yang dapat menghambat jalannya pemerintahan dan pembangunan. Penolakan para birokrat untuk diangkat sebagai pimpinan proyek dan bendaharawan proyek, ketakutan pimpinan instansi pemerintahan mengambil keputusan yang strategis, ketidak beranian pimpinan bank menyalurkan kredit, keengganan pengusaha mengambil kredit pada bank-bank pemerintah serta bermacam-macam sikap lain yang negatif, senantiasa dihembuskan sebagai isu-isu dan dalih untuk melakukan perlawanan terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi.
Perlawanan dan penolakan tersebut oleh sementara orang dipandang sebagai wujud keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu menganggap orang mulai takut melakukan korupsi. Namun bagi sebagian orang yang memiliki kejujuran dan pengabdian, situasi psikologis, rasa takut tersebut, bukan disebabkan karena takut korupsi. Kekhawatiran mereka lebih tertuju pada ketidak pastian dalam penegakan hukum, tidak ada konsistensi dalam penerapan hukum.
Mereka senantiasa was-was, bahwa apa yang diputuskan dan dilakukan saat ini sudah benar dan sesuai dengan ukuran norma hukum yang berlaku pada masa kini, ternyata di kemudian hari setelah terjadi pergantian rezim pemerintahan, keputusannya tersebut dinilai keliru dan melanggar hukum berdasarkan ukuran norma hukum yang berlaku pada rezim pemerintahan yang baru. Pada intinya, orang khawatir tidak ada kepastian aparat penegak hukum dalam menafsirkan atau menginterpretasikan dan menerapkan peraturan perundang-undangan.
Pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilaksanakan secara profesional, dengan menerapkan hukum secara benar sejalan dengan nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam setiap peraturan perundang-undangan. Menjadi penting bagi aparat penegak hukum untuk memegang teguh metode intepretasi hukum yang diajarkan oleh ilmu pengetahuan hukum pidana.

2. Sekilas Tentang Metode Interpretasi Hukum
Dalam naskahnya yang berjudul “Rhetorica”, Aristoteles menulis bahwa “hukum tidak tertulis atau hukum yang lebih tinggi, yaitu keadilan dapat diminta oleh pembela sebagai perwujudan dari keadilan yang dicapai di luar hukum tertulis”.[1]) Hal ini menandakan bahwa sejak berabad-abad yang lalu telah disadari, sesungguhnya keadilan tidak dapat diharapkan hanya dengan menerapkan hukum tertulis menurut bunyi kata-katanya, tetapi sesungguhnya berada dibalik yang tersirat dalam hukum. Hakim harus menafsirkan hukum agar keadilan dapat terwujud.
Bertalian dengan penafsiran hukum tersebut, Wirjono Prodjodikoro menegaskan bahwa segala hukum baik yang tertulis yang termuat dalam pelbagai undang-undang, maupun yang tidak tertulis, yaitu berdasar atas adat kebiasaan seperti hukum adat, selalu membuka kemungkinan ditafsirkan secara bermacam-macam. Tergantung dari tafsiran inilah sebetulnya bagaimana isi dan maksud sebenarnya dari suatu peraturan hukum harus dianggap. Kalau diingat, bahwa pada akhirnya penafsiran dari hakimlah yang mengikat kedua belah pihak, maka dapat dikatakan bahwa hakim adalah perumus dari hukum yang berlaku. Dengan demikian pekerjaan hakim mendekati sekali pekerjaan pembuat undang-undang selaku pencipta hukum. [2])
Interpretasi hukum merupakan hal yang penting dalam kehidupan hukum, sebagai reaksi atas ajaran legisme, yaitu aliran yang berkembang sejak abad pertengahan, yang menyamakan hukum dan undang-undang sebagai pokok pikirannya. Hakim tunduk pada undang-undang, semua hukum terdapat pada undang-undang. Hakim tidak menciptakan hukum, hakim itu hanya mulut atau corong badan legislatif, badan pembuat undang-undang.
Akan tetapi ternyata kemudian bahwa undang-undang tidak jelas, andaikata jelas juga undang-undang itu tidak mungkin lengkap dan tuntas. Tidak mungkin undang-undang secara lengkap dan tuntas mengatur kehidupan manusia, karena kehidupan manusia senantiasa berkembang. Melalui interpretasi atau penafsiran akan diberikan penjelasan yang gamblang mengenai rumusan undang-undang agar ruang lingkup norma dapat diterapkan pada peristiwa tertentu.
Akan tetapi menafsirkan undang-undang tidak dilakukan secara sewenang-wenang, ada rambu-rambu yang harus ditaati. J.H. Logemann mengatakan bahwa hakim harus tunduk pada kehendak pembuat undang-undang, yaitu kehendak pembuat undang-undang seperti yang dapat diketahui terletak di dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Dalam kehendak itu tidak dapat dibaca dengan begitu saja dari kata undang-undang, maka hakim harus mencarinya dalam sejarah kata-kata tersebut, dalam sistem undang-undang, atau dalam arti kata-kata itu seperti yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari pada waktu sekarang.
Hakim wajib mencari kehendak pembuat undang-undang, karena ia tidak boleh membuat penafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak itu. Setiap penafsiran adalah tafsiran yang dibatasi oleh kehendak pembuat undang-undang. Sebab itu hakim tidak boleh menafsirkan undang-undang secara sewenang-wenang yaitu menurut kehendak hakim sendiri.[3]
Dalam tataran praktis, metode penafsiran dapat diketemukan pada pertimbangan-pertimbangan putusan hakim. Dari alasan atau pertimbangan yang sering digunakan oleh hakim dalam menemukan hukumnya, dikenal beberapa metode penafsiran atau interpretasi menurut bahasa atau gramatikal, interpretasi menurut sejarah atau interpretasi historis, interpretasi menurut sistem yang ada dalam hukum atau interpretasi sistematis, interpretasi dogmatis, interpretasi sosiologis, atau interpretasi teleologis, interpretasi perbandingan hukum dan interpretasi futuristis.
Interpretasi otentik menurut Sudikno Mertokusumo tidak dalam ajaran tentang interpretasi. Interpretasi otentik adalah penjelasan yang diberikan oleh undang-undang dan terdapat dalam teks undang-undang, bukan dalam tambahan lembaran Negara.[4]

2.1. Interpretasi bahasa atau interpretasi gramatikal
Bahasa merupakan sarana yang penting yang dipakai oleh pembuat undang-undang untuk menyatakan kehendaknya. Oleh karena itu pembuat undang-undang harus memilih kata-kata dengan singkat, jelas dan tidak dapat di tafsirkan secara berbeda-beda. Hal ini tidak mudah dilakukan sehingga tetap saja memerlukan penafsiran.
Titik tolak dalam penafsiran menurut bahasa adalah bahasa sehari-hari. Ketentuan atau kaidah hukum yang tertulis dalam undang-undang diberi arti menurut kalimat atau bahasa sehari-hari. Metode interpretasi ini disebut interpretasi gramatikal karena untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan cara menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Dalam interpretasi bahasa ini biasanya digunakan kamus bahasa atau dimintakan keterangan ahli bahasa.

2.2. Interpretasi menurut sejarah atau historis
Untuk mengetahui makna suatu kaidah dalam perundang-undangan sering pula dilakukan dengan meneliti sejarah, atau riwayat peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Ada 2 (dua) jenis interpretasi historis yaitu :
a. Interpretasi menurut sejarah hukum (rechts historische-interpretatie)
Penafsiran atau interpretasi menurut sejarah hukum adalah suatu penafsiran yang luas yaitu meliputi pula penafsiran sejarah penetapan suatu ketentuan perundang-undangan dan sejarah sistem hukumnya. Penafsiran sejarah hukum menyelidiki asal peraturan perundang-undangan dari suatu sistem hukum yang dulu pernah berlaku dan sekarang tidak berlaku lagi atau asal- usul peraturan itu dari sistem hukum lain yang masih berlaku di negara lain ; seperti misalnya KUHP kita yang berasal dari KUHP Belanda yang diberlakukan berdasarkan asas konkordansi. Ditinjau sejarah sistem hukumnya adalah berasal dari Code Penal Napoleon, berhubung Belanda pada waktu itu di jajah oleh perancis.
b. Interpretasi menurut sejarah penetapan suatu ketentuan perundang-undangan (wet historische-interpretatie)
Untuk mengetahui maksud pembuat undang-undang pada waktu undang-undang dibuat atau ditetapkan dilakukan dengan menggunakan interpretasi sejarah perundang-undangan. Sumber yang dicari dalam melakukan interpretasi ini adalah surat menyurat, pembicaraan atau pembahasan di dalam badan legislatif, yang kesemuanya itu memberi gambaran tentang apa yang di kehendaki oleh pembentuk undang-undang. Sejarah terbentuknya undang-undang dapat diteliti melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) termasuk pernyataan atau keterangan pemerintah sewaktu RUU diajukan ke DPR, rísalah-risalah perdebatan baik dalam komisi maupun sub komisi atau pleno. Sering juga dalam interpretasi sejarah meneliti tentang rangkaian kejadian atau peristiwa yang terjadi sebelum RUU diajukan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui alasan pertimbangan tentang mengapa sampai RUU tersebut di ajukan. Dalam hal demikian maka terjadi penggabungan metode interpretasi sejarah hukum dan metode interpretasi sejarah perundang-undangan.

2.3. Interpretasi sistematis atau interpretasi dogmatis
Setiap gejala sosial senantiasa terjadi interdependensi (saling ketergantungan atau saling berhubungan ) dengan gejala-gejala sosial yang lain. Konsekwensinya dalam hukum bahwa antara masing-masing peraturan hukum itu ada hubungannya. Suatu peraturan hukum tidak berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan dengan peraturan hukum yang lain. Beberapa peraturan hukum yang mengandung beberapa persamaan baik mengenai unsur-unsurnya maupun tujuan untuk mencapai suatu obyeknya, merupakan suatu himpunan peraturan-peraturan yang tertentu, akan tetapi antara peraturan-peraturan itu saling berhubungan intern diantara peraturan-peraturan tersebut.
Menafsirkan undang-undang yang menjadi bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan cara menghubungkan dengan undang-undang lain itulah yang dinamakan interpretasi sistematis. Dengan metode penafsiran sistematis ini hendak dikatakan bahwa dalam menafsirkan undang-undang tidak boleh menyimpang dari sistem perundang-undangan.

2.4. Interpretasi sosiologis atau interpretasi teleologis
Sementara ahli menyatakan adanya perbedaan antara interpretasi sosiologis dengan interpretasi teleologis.[5] Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa interpretasi teleologis yaitu apabila makna undang-undang diterapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dengan interpretasi teleologis ini, undang-undang yang masih berlaku tetapi sudah usang atau sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak perduli apakah hal ini semuanya pada waktu di undangkannya undang-undang tersebut dikenal atau tidak.
Di sini peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan undang - undang yang sudah tidak sesuai lagi dilihat sebagai alat untuk memecahkan atau menyelesaikan sengketa dalam kehidupan bersama itu sekarang.[6]
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta menerangkan bahwa kadang-kadang interpretasi bahasa di bantu oleh interpretasi sejarah dan interpretasi sistematis masih belum memadai dan perlu diselidiki sebab-sebab atau faktor-faktor apa dalam masyarakat atau perkembangan masyarakat yang bisa memberi penjelasan mengapa perundang-undangan (pemerintah) atau pengambil inisiatif undang-undang (DPR) bergerak atau tergerak mengajukan RUU itu.
Ini dinamakan interpretasi sosiologis.[7] Kadang-kadang interpretasi sosiologis pun masih belum bisa memuaskan dan harus dibantu oleh semua interpretasi yang mengemukakan tujuan dari usaha membentuk perundang-undangan baru itu. Ini disebut interpretasi teleologis yang digunakan untuk membantu / menunjang argumentasi sosiologis.[8]
2.5. Interpretasi komparatif atau interpretasi perbandingan hukum
Interpretasi komparatif dilakukan dengan jalan memberi penjelasan dari suatu ketentuan perundang-undangan dengan berdasarkan perbandingan hukum. Dengan memperbandingkan hukum yang berlaku di beberapa negara atau beberapa konvensi internasional, menyangkut masalah tertentu yang sama, akan dicari kejelasan mengenai makna suatu ketentuan perundang-undangan. Menurut Sudikno Mertokusumo, metode penafsiran ini penting terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional, karena dengan pelaksanaan yang seragam akan dapat direalisir kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian internasional sebagai hukum obyektif atau kaedah hukum untuk beberapa negara. Di luar hukum perjanjian internasional, kegunaan metode ini terbatas.[9]
2.6. Interpretasi futuristis
Intepretasi ini merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipatif. Metode ini dilakukan dengan menafsirkan ketentuan perundang-undangan dengan berpedoman pada kaedah-kaedah perundang-undangan yang belum mempunyai kekuatan hukum, misalnya undang- undang tentang pemberantasan tindak subversi yang sedang di bahas di DPR akan mencabut berlakunya undang-undang tersebut, maka jaksa berdasarkan interpretasi futuristik, menghentikan penuntutan terhadap orang yang di sidik berdasarkan undang-undang pemberantasan tindak pidana subversi.

3. Polemik Interpretasi Rumusan Tindak Pidana Korupsi
Pengamatan terhadap praktek penegakan hukum perkara tindak pidana korupsi dapat di identifikasi bahwa dari sebanyak 13 (tiga belas) pasal Rumusan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hanyalah ketentuan Pasal 2 ayat (1) yang sering digunakan untuk menuntut terdakwa pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini dapat di maklumi mengingat perumusan Pasal 2 ayat (1) tersebut adalah sangat luas dan elastis sifatnya sehingga dapat menjaring hampir setiap perbuatan yang melawan hukum. Hal ini yang menimbulkan persoalan-persoalan yuridis dalam implementasinya.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dirumuskan dengan kata-kata : “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Perumusan yang luas dan dipandang kurang jelas tersebut sering menimbulkan pendapat yang bervariasi dan vergensi makna. Hal ini bukan saja melahirkan polemik interpretasi dalam persidangan suatu perkara pidana, akan tetapi juga membuahkan inkonsistensi putusan pengadilan yaitu pandangan-pandangan yang berbeda antara putusan pengadilan yang satu dengan putusan pengadilan yang lain.
Interpretasi yang menyangkut, subyek hukum, unsur ”melawan hukum“ serta unsur ”keuangan negara atau perekonomian negara” dari Pasal 2 ayat (1) tersebut menjadi perdebatan yang tidak pernah habis-habisnya dan akan selalu berulang dalam setiap persidangan. Perdebatan pandangan juga telah melibatkan para akademisi yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak untuk memberikan keterangan di persidangan sebagai alat bukti ahli.

3.1. Subyek Hukum
Subyek hukum dalam Pasal 2 ayat (1) dirumuskan dengan kata, "setiap orang" yang secara otentik telah mendapat penjelasan dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 tahun 2001, yaitu dimaksudkan sebagai "orang perorang atau termasuk korporasi
Persoalan subyek hukum ini akan mengemukakan manakala yang menjadi terdakwa adalah seorang yang menduduki jabatan pengurus korporasi, ketua yayasan atau perkumpulan apapun ataupun seorang yang menjabat sebagai direksi perseroan terbatas atau direksi badan usaha milik negara (BUMN). Sementara itu perbuatan yang di dakwakan terkait dengan jabatannya selaku pengurus atau direksi suatu korporasi, yang biasanya dirumuskan dalam surat dakwaan dengan kalimat ; Bahwa ia terdakwa X (nama terdakwa) selaku Direktur P.T (Perseroan Terbatas) Z (nama korporasi) yang diangkat berdasarkan surat keputusan Menteri………………..dst.”
Uraian surat dakwaan yang menyangkut subyek hukum tersebut menimbulkan polemik apakah yang dimaksud dalam surat dakwaan tersebut adalah terdakwa sebagai subyek hukum orang perseorangan ataukah sebagai subyek hukum korporasi yang diwakili oleh pengurus bernama X sebagai Direktur P.T. (Perseroan Terbatas). Interpretasi terhadap rumusan dakwaan yang menyangkut subyek hukum tersebut memiliki akibat hukum berbeda.
Jika subyek hukum yang dimaksud adalah korporasi maka ketentuan pemidanaan akan berlaku Pasal 20 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yaitu ancaman pidana hanyalah denda maksimum ditambah 1/3 (sepertiga). Konsekuensinya lebih lanjut bahwa terdakwa yang mewakili korporasi tidak dapat dikenakan tindakan penahanan.
Jika yang di maksud dengan subyek hukum tersebut orang perorangan maka ketentuan pemidanaan adalah yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Sebagai kosekuensi ancaman pidana ini, subyek hukum orang perorangan dapat dikenakan tindakan penahanan.
Pada dasarnya ternyata bahwa dikalangan aparat penegak hukum masih belum mampu mengimplementasikan perbedaan interpretasi subyek hukum orang perorangan dan subyek hukum korporasi. Kesulitan mengimplementasikan interpretasi subyek hukum korporasi dapat di indikasikan bahwa hingga saat ini belum ada “ satupun korporasi yang dijadikan subyek hukum dalam praktek peradilan tindak pidana korupsi.” Hal ini dapat dimengerti karena dasar-dasar pertanggungjawaban pidana korporasi berdasarkan doktrin “Strict Liability dan Vicarious Liability” belum begitu populer dikalangan penegak hukum.

3.2. Unsur Melawan Hukum
Perumusan yang luas dengan memasukkan unsur melawan hukum sebagai sarana memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah membuka kemungkinan terjadinya multi interpretasi melalui interpretasi ekstensif. Hal ini ditandai adanya suatu kecenderungan dalam praktek peradilan dimana para praktisi hukum melalui perdebatan dan polemik yang diajukan dalam requesitoir, pledoi maupun putusan pengadilan menginterpretasikan unsur melawan hukum menurut subyektifitas kepentingan masing-masing. Interpretasi tentang hal ini pada umumnya terjadi dalam peristiwa-peristiwa: :

a. Seorang yang melanggar hukum peraturan pidana lain (seperti, penyelundupan, pelanggaran pajak, penerimaan kredit secara tidak wajar yang merupakan pelanggaran pidana perbankan, pelanggaran tindak pidana kehutanan dan lain-lain) dimasukkan pula sebagai pelanggaran undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya tindak pidana yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
Perumusan unsur secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi adalah sangat luas dan umum dan bersifat terbuka untuk ditafsirkan yaitu meliputi setiap perbuatan yang melanggar ketentuan pidana.
Dengan demikian setiap perbuatan yang melanggar perundang-undangan pidana (KUHP maupun perundang-undangan lainnya) asalkan terbukti memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dapat diterapkan sebagai pelanggaran Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Sebagai contoh ekstrim dapat di kemukakan misalnya seseorang yang melakukan pencurian mesin komputer milik inventaris kantor pemerintah akan dapat dituntut melakukan tindak pidana korupsi, karena perbuatannya memenuhi unsur melawan hukum, memperkaya diri sendiri, unsur kerugian keuangan negara. Interpretasi yang demikian tentu saja menimbulkan ketidak pastian hukum, karena orang tidak mengetahui dengan pasti kriteria apa perbuatan yang melanggar ketentuan pidana lain tersebut diterapkan sebagai tindak pidana korupsi dan kapan diterapkan murni pelanggaran tindak pidana lain yang khusus untuk perkara tersebut.
Prof. Oemar Seno Adji SH mengkritik keras cara-cara penerapan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi semacam itu, dengan menyatakan: Tidak dapat di pungkiri, bahwa ada suatu kecenderungan para penegak, “hanteerder” kewenangan dan pengadilan pula, dalam menghadapi suatu perumusan yang luas, umum dan terbuka dalam perundang-undangan mengadakan suatu interpretasi yang extensif. Malahan apabila tidak terdapat hambatan pejabat-pejabat hukum tersebut bersikap berkelanjutan, dan agak ekssesif dalam mengartikan perumusan yang luas terbuka kita. Dapat timbul apa yang dikatakan oleh Pompe “overspanningen” dalam Hukum Pidana, yang meliputi dan memasukkan penerapan peraturan-peraturan hukum, yang dimaksudkan tidak termasuk dalam jangkauan peraturan peraturan dengan rumus yang luas dan terbuka itu.[10]
Interpretasi yang luas dari perumusan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 selain menimbulkan ketidak pastian hukum, juga terbukti mengesampingkan nilai dan makna filosofis dari suatu perundang-undangan pidana yang dibuat khusus untuk menghadapi perbuatan yang khusus diatur dalam undang-undang yang di maksud.
Oleh karena itu perlu diadakan pembatasan pengertian dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi yang dirumuskan secara luas dan umum tersebut. Prof. Oemar Seno Adji menganjurkan untuk dilakukan rechtsverfijning (penghalusan hukum) dalam implementasinya oleh hakim yaitu suatu aturan umum itu dibatalkan oleh kekecualian khusus.[11]
Bilamana terjadi suatu peristiwa yang merupakan suatu tindakan tindak pidana penyelundupan maka kepadanya diterapkan dakwaan undang-undang kepabeanan, jika suatu peristiwa pidana merupakan suatu tindak pidana pelanggaran hutan seharusnya hanya diterapkan undang-undang tentang kehutanan, tidak lagi diterapkan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.

b. Penunjukan Langsung Pengadaan Barang/Jasa dan Interpretasi Unsur Melawan Hukum
Dalam praktek penegakan hukum sering terjadi polemik antara aparat penegak hukum dengan tersangka / terdakwa dan penasehat hukum dalam kasus pengadaan barang/jasa yang dibiayai dengan dana pemerintah, menyangkut sistem pengadaan dengan metode penunjukan langsung rekanan.
Dalam pandangan aparat penegak hukum perbuatan pengadaan barang/jasa dengan metode penunjukan langsung di interpretasikan sebagai perbuatan melawan hukum, karena melanggar Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 yang telah beberapa kali dilakukan perubahan dan terakhir perubahan keempat berdasarkan peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006, sedangkan bagi tersangka, terdakwa maupun penasihat hukum menginterpretasikan bahwa penunjukan langsung tersebut masih dalam batas-batas yang diatur oleh Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003.
Jika diperhatikan argumentasi yang dikemukakan dalam perdebatan, pada umumnya mereka menafsirkan unsur secara melawan hukum dengan sangat sederhana dan normatif yaitu hanya menggunakan ukuran melanggar Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003. Mereka memandang bahwa pelanggaran Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003, “identik” dengan pelanggaran unsur melawan hukum undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, atau dengan kata lain pelanggaran hukum administrasi sama dengan pelanggaran melawan hukum dalam hukum pidana.
Interpretasi yang demikian itu dirasakan sebagai kesewenang-wenangan yang menimbulkan ketidak adilan dan ketidak pastian hukum. Seyogyanya kaidah teoritis interpretasi hukum, baik yang dikemukakan sebagai doktrin maupun yurisprudensi dipakai secara mendalam, bukan interpretasi yang didasarkan pada logika subyektif.
Penunjukan langsung baru merupakan perbuatan melawan hukum apabila unsur kesengajaan penggelembungan harga atau diikuti dengan penyuapan kepada pejabat yang bersangkutan, suatu pandangan yang menurut asas-asas hukum tidak tertulis dan asas kepatutan merupakan perbuatan yang dicela oleh masyarakat.

c. Kriminalisasi Hukum Bisnis Dalam Implementasi Unsur Melawan Hukum
Polemik tentang hal ini terjadi dalam kasus-kasus korupsi di BUMN terutama menyangkut investasi atau operasional perusahaan. Misalnya saja suatu Direksi BUMN melakukan kegiatan investasi jangka pendek atau operasional perusahaan, dimana sebagian tindakannya telah menguntungkan perusahaan, akan tetapi pada suatu saat investasi yang dilakukan gagal sehingga menimbulkan kerugian perusahaan.
Dalam kasus investasi yang menimbulkan kerugian, direksi dimaksud dituntut ke pengadilan karena melakukan tindak pidana korupsi atas dasar melakukan perbuatan melawan hukum yaitu tidak melakukan penghati-hati, tidak mengindahkan peraturan-peraturan yang berlaku dalam perusahaannya.
Sementara itu, tersangka/terdakwa berdalih bahwa kegiatan operasional dan investasi yang rugi tersebut adalah merupakan kegiatan bisnis sebagiamana yang dilakukan oleh perusahaan pada umumnya. Oleh karena itu kerugian adalah merupakan resiko bisnis, karena ternyata sebagian besar kegiatan serupa telah mendatangkan keuntungan.
Dari contoh-contoh tersebut diatas menunjukan bahwa implementasi unsur melawan hukum dipandang tidak memiliki ukuran-ukuran yang jelas, dan menimbulkan ketidak pastian hukum. Polemik terjadi menyangkut argumentasi apakah peristiwa itu murni dalam ruang lingkup hukum bisnis, yang diukur menurut norma perundang-undangan Perseroan Terbatas, ataukah peristiwa tersebut dapat di golongkan sebagi pelanggaran tindak pidana.

d. Interpretasi Unsur Melawan Hukum Menurut Yurisprudensi
Salah satu putusan Mahkamah Agung yang sangat monumental dalam menginterpretasikan unsur melawan hukum tindak pidana korupsi dapat dikemukakan putusan Mahkamah Agung Nomor 275K/PID/1983 tanggal 15 Desember 1983 dalam perkara atas nama Raden Sonson Natalegawa. Dalam pertimbangannya mengenai unsur melawan hukum di kemukakan sebagai berikut:
Menimbang bahwa menurut mahkamah agung penafsiran terhadap putusan sebutan “melawan hukum” tidak tepat, jika hal itu hanya dihubungkan dengan policy perkreditan direksi yang yang menurut Pengadilan Negeri tidak melanggar peraturan hukum yang ada sanksi pidananya, akan tetapi sesuai pendapat yang sudah berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur berdasarkan asas-asas hukum tidak tertulis, maupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.”
Menimbang bahwa menurut kepatutan dalam masyarakat, khususnya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seorang lain dengan maksud agar pegawai negeri itu menggunakan kekuasaanya atau wewenangnya yang melekat pada jabatan secara menyimpang, hal itu sudah merupakan “perbuatan yang melawan hukum”, karena menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela atau perbuatan yang menusuk persaan hati masyarakat banyak.”
Pertimbangan Mahkamah Agung tersebut menunjukan interpretasi hukum yang dipengaruhi oleh ajaran hukum sosiologis (Sociological Jurisprudence) yang mengajarkan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.[12]

Dari putusan Mahkamah Agung tesebut dapat disimpulkan tentang interpretasi melawan hukum dalam tindak pidana korupsi yaitu :
1.Pengertian unsur melawan hukum tidak tepat bilamana hanya di hubungkan dengan peraturan hukum yang ada sanksi pidananya. Melawan hukum dapat dihubungkan dengan peraturan hukum yang tidak memuat sanksi pidana.
2. Sesuai dengan pendapat yang berkembang dalam ilmu hukum pengertian unsur melawan hukum harus juga diukur berdasarkan asas-asas hukum tidak tertulis maupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.
3.Menurut kepatutan dalam masyarakat khususnya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, apabila seorang pegawai negeri menggunakan kekuasaan atau wewenangnya yang melekat pada jabatannya secara menyimpang, hal itu sudah merupakan perbuatan melawan hukum karena menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela atau perbuatan yang menusuk perasaan hati masyarakat banyak.
Dalam praktik peradilan, yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut selalu di jadikan referensi dalam menginterpretasikan unsur melawan hukum. Akan tetapi yang perlu di perhatikan dalam menginterpretasikan disini adalah bagaimana membuktikan suatu peristiwa yang bertentangan dengan peraturan yang tidak ada sanksi pidananya, adalah peristiwa yang dicela masyarakat bilamana diukur menurut asas-asas hukum tidak tertulis dan asas-asas umum menurut kepatutan dalam masyarakat.
Seharusnyalah disini menggunakan ukuran-ukuran yang obyektif menurut ilmu pengetahuan, bukan ukuran subyektif jaksa penuntut umum, atau penasehat hukum atau hakim, disinilah letak pentingnya keterangan ahli yang terkait bidang permasalahan yang didakwakan.

Penutup
Praktek pemberantasan tindak pidana korupsi melalui penegakan hukum masih dirasakan adanya ketidak pastian hukum atau yang dikenal dengan istilah “tebang pilih”. Pada dasarnya hal ini disebabkan karena pemahaman terhadap rumusan tindak pidana tidak didasarkan pada metode interpretasi yang diajarkan oleh ilmu hukum dan yurisprudensi.

Perumusan tindak pidana korupsi yang terlalu luas, umum, terbuka sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 membuka peluang untuk di interpretasikan secara ekstensif, mencakup tindak pidana lain yang fungsi dan maknanya bersifat khusus dan bukan yang dimaksudkan untuk pemberantasan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu dalam implementasinya perlu diadakan pembatasan dengan melakukan penghalusan hukum (rechtsverfijning).

Yurisprudensi telah memberikan interpretasi atas unsur melawan hukum tindak pidana korupsi dengan menggunakan ukuran-ukuran, asas-asas hukum tidak tertulis dan asas-asas umum mengenai kepatutan dalam masyarakat. Implementasi terhadap interpretasi ini seyogyanya menggunakan ukuran-ukuran obyektif berdasarkan ilmu pengetahuan yang digali dari keterangan ahli, bukan dengan ukuran subyektif jaksa penuntut umum, penasihat hukum maupun hakim.

END NOTE:
[1]) I.F. Stone, Peradilan Socrates, Skandal Terbesar Dalam Demokrasi Athena (The trial of Socrates), diterjemahkan oleh Rahma Asa Harun, Pustaka Utama Grafiti, 1991, hal. 210.
[2]) Wirjono Prodjodikoro, “Salah Satu Dasar Segala Hukum Adalah Rasa Keadilan”, dalam Bunga Rampai Hukum – Karangan Tersebar, Ichtiar Baru, Jakarta, 1974, hal. 28.
[3] Ibid., hal 205-206
[4] Sudikno Mertokusumo,Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty,Yogyakarta,1986, hal 140-141.
[5] Mochtar Kusumaatmaja dan B Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum. Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum,Buku 1,Alumni, Bandung, 2000, hal 106-107.
[6] Sudikno Mertokusumo, op.cit.hal.142
[7] Mochtar Kusumaatmadja dan B Arief Sidharta,op.cit.,hal 106
[8] Ibid.,hal 107
[9] Sudikno Mertokusumo,op.cit.,hal 145
[10] Oemar Seno Adji, Hukum Pidana Pengembangan,Erlangga, Jakarta 1985 hal 247
[11] Oemar Seno Adji, Ibid hal 248-249 dan 260
[12] Lili Rasyidi dan I.B. Wayan Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, P.T. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, hal 83.

DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia. Masalah dan Pemecahannya, Gramedia, Jakarta,
1984.
_____, Korupsi Dalam Pengelolaan Proyek Pembangunan, Akademika Presindo,Jakarta, 1984.
_____, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta,1994.
_____, Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasar Teori dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1994.
Direktorat Jenderal Pembinaan Hukum Departemen Kehakiman, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, Direktorat Jenderal Pembinaan Hukum Departemen Kehakiman, Jakarta.
Lili Rasyidi dan I.B. Wyan Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, P.T. Remaja Rosdakarya, Bandung 1999
Mahkamah Agung R.I., Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, Mahkamah Agung R.I., Jakarta, 1993.
Mochtar Kusumaatmdja dan B. Arief Shidarta, Pengantar Ilmu Hukum. Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku 1, Alumni Bandung, 2000.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, P.T. Rineka Cipta, Jakarta, 1993.
_____, Hukum Pidana. Delik-Delik Percobaan, Delik-Delik Penyertaan, Bina Aksara, Jakarta, 1983.
_____, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983.
Oemar Seno Adji, Hukum Pidana Pengembangan, Erlangga, Jakarta, 1985.
_____, Hukum – Hakim Pidana, Erlangga, Jakarta, 1980.
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional (Bagian Kesatu), Binacipta, Bandung, 1998.
Syed Hussain Alatas; Korupsi. Sifat, Sebab dan Fungsi (Corruption its Nature,
Causes and Functions) - diterjemahkan oleh Nirwono, LP-3ES, Jakarta,1987.
Stoen, I.F., Peradilan Socrates. Skandal Terbesar dalam Demokrasi Athena. (The Trial of Socrates) – diterjemahkan oleh Rahmah Asa Harun, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta,
1991.
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, cet. 6, 1989.
_____, Bunga Rampai Hukum. Karangan Tersebar, Ichtiar Baru, Jakarta, cet. 1, 1974.

(Penulis Lahir di Madiun, 12 Juni 1945. Riwayat pendidikan : Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Jurusan Kepidanaan Tahun 1970, Magíster Hukum UNPAD (Universitas Padjajaran) Bandung Tahun 2002, Kursus Regular Angkatan (KRA) XXVIII LEMHANNAS (Lembaga Ketahanan Nasional) tahun 1995.
Riwayat pekerjaan penulis : Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (1998-1999), Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (1999 - 2000), Staff Ahli Jaksa Agung R.I (2000 – 1 Juli 2005), dan Sejak tahun 2005 Pensiun sebagai Pegawai Negeri Sipil (Jaksa) bekerja sebagai Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta, Konsultan/Staff Ahli Kantor PPATK (Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan), Anggota Tim Pakar Hukum Departemen Pertahanan).

Sabtu, 29 November 2008

UNCAC: Global response to a global problem

GLOBAL Synergy between UNCAC and UNDOC as global response to global problem against Corruption
posted by Albert Usada


CORRUPTION undermines democratic institutions, retards economic development and contributes to government instability. Corruption attacks the foundation of democratic institutions by distorting electoral processes, perverting the rule of law, and creating bureaucratic quagmires whose only reason for existence is the soliciting of bribes. Economic development is stunted because outside direct investment is discouraged and small businesses within the country often find it impossible to overcome the "start-up costs" required because of corruption.

The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) creates the opportunity to develop a global language about corruption and a coherent implementation strategy. A multitude of international anti-corruption agreements exist, however their implementation has been uneven and only moderately successful. The UNCAC gives the global community the opportunity to address both of these weaknesses and begin establishing an effective set of benchmarks for effective anti-corruption strategies. The Global Programme against Corruption (GPAC) is a catalyst and a resource to help countries effectively implement the provision of the UN Convention against Corruption.

There are a rapidly growing number of countries that have become parties to the Convention. The primary goal of the Anti-Corruption Unit (ACU)/Global Programme against Corruption (GPAC) is to provide practical assistance and build technical capacity to implement the UNCAC and efforts will concentrate on supporting Member States in the development of anti-corruption policies and institutions. This will include the establishment of preventive anti-corruption frameworks.
Source: www.unodc.org/unodc/en/corruption/index.html

Jumat, 28 November 2008

RAGAAN Pembentukan Pengadilan Negeri

Posted by @Albert Usada PN Wates
source: www.badilum.info/index.php?option=com_content&view=category&id=13&Itemid=65

DI bawah ini merupakan Ragaan (caption) bagaimana suatu pengadilan negeri dibentuk. Pengadilan Negeri merupakan pengadilan tingkat pertama di lingkungan Peradilan Umum yang berpuncak pada Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai Pengadilan Negara Tertinggi (the Supreme Court)

Rabu, 26 November 2008

KONDISI Umum Kabupaten Kulon Progo

Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu kabupaten dari lima kabupaten/kota di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak di bagian barat. Batas Kabupaten Kulon Progo di sebelah timur yaitu Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman, di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Purworejo, Propinsi Jawa Tengah, di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah dan di sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia.
Kabupaten Kulon Progo memiliki topografi yang bervariasi dengan ketinggian antara 0 - 1000 meter di atas permukaan air laut, yang terbagi menjadi 3 wilayah meliputi:

a. Bagian Utara

Merupakan dataran tinggi/perbukitan Menoreh dengan ketinggian antara 500 1000 meter di atas permukaan air laut, meliputi Kecamatan Girimulyo, Kokap, Kalibawang dan Samigaluh. Wilayah ini penggunaan tanah diperuntukkan sebagai kawasan budidaya konservasi dan merupakan kawasan rawan bencana tanah longsor.

b. Bagian Tengah
Merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian antara 100 500 meter di atas permukaan air laut, meliputi Kecamatan Nanggulan, Sentolo, Pengasih, dan sebagian Lendah, wilayah dengan lereng antara 2 15%, tergolong berombak dan bergelombang merupakan peralihan dataran rendah dan perbukitan.

c. Bagian Selatan
Merupakan dataran rendah dengan ketinggian 0 100 meter di atas permukaan air laut, meliputi Kecamatan Temon, Wates, Panjatan, Galur, dan sebagian Lendah. Berdasarkan kemiringan lahan, memiliki lereng 0 2%, merupakan wilayah pantai sepanjang 24,9 km, apabila musim penghujan merupakan kawasan rawan bencana banjir.

Luas wilayah Kabupaten Kulon Progo adalah 58.627,54 hektar, secara administratif terbagi menjadi 12 kecamatan yang meliputi 88 desa dan 930 dusun. Penggunaan tanah di Kabupaten Kulon Progo, meliputi sawah 10.732,04 Ha (18,30%); tegalan 7.145,42 Ha (12,19%); kebun campur 31.131,81 Ha (53,20%); perkampungan seluas 3.337,73 Ha (5,69%); hutan 1.025 Ha (1,75%); perkebunan rakyat 486 Ha (0,80%); tanah tandus 1.225 Ha (2,09%); waduk 197 Ha (0,34%); tambak 50 Ha (0,09%); dan tanah lain-lain seluas 3.315 Ha (5,65%).

Sumber
: www.kulonprogo.go.id/main.php?what=html/profil/kondisi&tit=Kondisi%20Umum.

Sejarah Kabupaten Kulon Progo

SEBELUM terbentuknya Kabupaten Kulon Progo pada yanggal 15 Oktober 1951, wilayah Kulon Progo terbagi atas dua kabupaten yaitu Kabupaten Kulon Progo yang merupakan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kabupaten Adikarta yang merupakan wilayah Kadipaten Pakualaman.

Wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Kabupaten Kulon Progo)
Sebelum Perang Diponegoro di daerah Negaragung, termasuk di dalamnya wilayah Kulon Progo, belum ada pejabat pemerintahan yang menjabat di daerah sebagai penguasa. Pada waktu itu roda pemerintahan dijalankan oleh pepatih dalem yang berkedudukan di Ngayogyakarta Hadiningrat. Setelah Perang Diponegoro 1825-1830 di wilayah Kulon Progo sekarang yang masuk wilayah Kasultanan terbentuk empat kabupaten yaitu:
- Kabupaten Pengasih, tahun 1831
- Kabupaten Sentolo, tahun 1831
- Kabupaten Nanggulan, tahun 1851
- Kabupaten Kalibawang, tahun 1855

Masing-masing kabupaten tersebut dipimpin oleh para Tumenggung. Menurut buku 'Prodjo Kejawen' pada tahun 1912 Kabupaten Pengasih, Sentolo, Nanggulan dan Kalibawang digabung menjadi satu dan diberi nama Kabupaten Kulon Progo, dengan ibukota di Pengasih. Bupati pertama dijabat oleh Raden Tumenggung Poerbowinoto. Dalam perjalanannya, sejak 16 Februari 1927 Kabupaten Kulon Progo dibagi atas dua Kawedanan dengan delapan Kapanewon, sedangkan ibukotanya dipindahkan ke Sentolo. Dua Kawedanan tersebut adalah Kawedanan Pengasih yang meliputi kepanewon Lendah, Sentolo, Pengasih dan Kokap/sermo. Kawedanan Nanggulan meliputi kapanewon Watumurah/Girimulyo, Kalibawang dan Samigaluh.
Yang menjabat bupati di Kabupaten Kulon Progo sampai dengan tahun 1951 adalah sebagai berikut:
1. RT. Poerbowinoto
2. KRT. Notoprajarto
3. KRT. Harjodiningrat
4. KRT. Djojodiningrat
5. KRT. Pringgodiningrat
6. KRT. Setjodiningrat
7. KRT. Poerwoningrat

Wilayah Kadipaten Pakualaman ( Kabupaten Adikarta)
Di daerah selatan Kulon Progo ada suatu wilayah yang masuk Keprajan Kejawen yang bernama Karang Kemuning yang selanjutnya dikenal dengan nama Kabupaten Adikarta. Menurut buku 'Vorstenlanden' disebutkan bahwa pada tahun 1813 Pangeran Notokusumo diangkat menjadi KGPA Ario Paku Alam I dan mendapat palungguh di sebelah barat Sungai Progo sepanjang pantai selatan yang dikenal dengan nama Pasir Urut Sewu. Oleh karena tanah pelungguh itu letaknya berpencaran, maka sentono ndalem Paku Alam yang bernama Kyai Kawirejo I menasehatkan agar tanah pelungguh tersebut disatukan letaknya. Dengan satukannya pelungguh tersebut, maka menjadi satu daerah kesatuan yang setingkat kabupaten. Daerah ini kemudian diberi nama Kabupaten Karang Kemuning dengan ibukota Brosot.
Sebagai Bupati yang pertama adalah Tumenggung Sosrodigdoyo. Bupati kedua, R. Rio Wasadirdjo, mendapat perintah dari KGPAA Paku Alam V agar mengusahakan pengeringan Rawa di Karang Kemuning. Rawa-rawa yang dikeringkan itu kemudian dijadikan tanah persawahan yang Adi (Linuwih) dan Karta (Subur) atau daerah yang sangat subur. Oleh karena itu, maka Sri Paduka Paku Alam V lalu berkenan menggantikan nama Karang Kemuning menjadi Adikarta pada tahun 1877 yang beribukota di Bendungan. Kemudian pada tahun 1903 bukotanya dipindahkan ke Wates. Kabupaten Adikarta terdiri dua kawedanan (distrik) yaitu kawedanan Sogan dan kawedanan Galur. Kawedanan Sogan meliputi kapanewon (onder distrik) Wates dan Temon, sedangkan Kawedanan Galur meliputi kapanewon Brosot dan Panjatan.

Bupati di Kabupaten Adikarta sampai dengan tahun 1951 berturut-turut sebagai berikut:
1. Tumenggung Sosrodigdoyo
2. R. Rio Wasadirdjo
3. R.T. Surotani
4. R.M.T. Djayengirawan
5. R.M.T. Notosubroto
6. K.R.M.T. Suryaningrat
7. Mr. K.R.T. Brotodiningrat
8. K.R.T. Suryaningrat (Sungkono)

Penggabungan Kabupaten Kulon Progo dengan Kabupaten Adikarta
Pada 5 September 1945 Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah beliau yaitu Kasultanan dan Pakualaman adalah daerah yang bersifat kerajaan dan daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia. Pada tahun 1951, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII memikirkan perlunya penggabungan antara wilayah Kasultanan yaitu Kabupaten Kulon Progo dengan wilayah Pakualaman yaitu Kabupaten Adikarto. Atas dasar kesepakatan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII, maka oleh pemerintah pusat dikeluarkan UU No. 18 tahun 1951 yang ditetapkan tanggal 12 Oktober 1951 dan diundangkan tanggal 15 Oktober 1951. Undang-undang ini mengatur tentang perubahan UU No. 15 tahun 1950 untuk penggabungan Daerah Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Adikarto dalam lingkungan DIY menjadi satu kabupaten dengan nama Kulon Progo yang selanjutnya berhak mengatur dan mengurus rumah-tanganya sendiri. Undang-undang tersebut mulai berlaku mulai tanggal 15 Oktober 1951. Secara yuridis formal Hari Jadi Kabupaten Kulon Progo adalah 15 Oktober 1951, yaitu saat diundangkannya UU No. 18 tahun 1951 oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia.

Sumber: www.kulonprogo.go.id/main.php?what=html/profil/sejarah#