Minggu, 25 Januari 2009

Petunjuk Pelaksanaan Proses Persidangan Pelanggaran Pidana Pemilu (2009)


JUKLAK PROSES PERSIDANGAN PELANGGARAN PEMILU (2009)
TERKAIT dengan pelaksanaan tahap-tahap Pemilihan Umum (Pemilu) 2009, pada tanggal 22 Desember 2008, Mahkamah Agung RI (MA-RI) telah mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) Nomor 12 Tahun 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Proses Persidangan Pelanggaran Pidana Pemilu. SEMA dimaksud erat berkait dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD - yang merupakan ketentuan Hukum Materiil di bidang Pemilu (2009) - dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana diatur menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 - yang merupakan ketentuan Hukum Formil.

Adapun Petunjuk Pelaksanaan Proses Persidangan Pelanggaran Pidana Pemilu (2009) menurut SEMA Nomor 12 Tahun 2008 tanggal 22 Desember 2008, dapat disarikan sebagai berikut:

1. Mengingat keterbatasan waktu yang ditentukan oleh Undang-undang, dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah pelimpahan berkas perkara, Hakim harus berupaya dengan keras agar batasan waktu tersebut tidak terlewati. Oleh Pasal 254 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008, Pengadilan Negeri dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara pidana Pemilu menggunakan KUHAP, kecuali ditentukan lain dalam UU No. 10 Tahun 2008.
Karena itu, bilamana perlu Hakim dapat bersidang secara marathon, dan bila diperlukan persidangan dapat dilanjutkan pada malam hari, agar supaya batas waktu penyelesaian perkara dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Pengertian ”satu hari” menurut ketentuan dalam UU No. 10 Tahun 2008 adalah ”hari kerja” (Kesepakatan antara Polri, Jaksa Penuntut Umum, dan Mahkamah Agung RI).

2. Dari 52 ketentuan pasal ketentuan pelangaran pidana Pemilu, terdapat enam pasal yang diancam pidana lebih dari 5 (lima) tahun, yaitu Pasal 266, Pasal 291, Pasal 297, Pasal 298, Pasal 300 dan Pasal 306.
Diantara enam ketentuan tersebut, ancaman pidana yang terberat adalah pasal 300, yaitu perbuatan yang dilakukan: ”... dengan sengaja merusak, mengganggu, atau mendistorsi sistem informasi penghitungan suara hasil Pemilu dipidana paling singkat 60 (enam puluh) bulan (lima tahun) atau paling lama 120 bulan (10 tahun), dan denda paling sedikit 500 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah”.

3. Terhadap pelanggaran 6 (enam) pasal tersebut (Pasal 266, Pasal 273, Pasal 291, Pasal 297, Pasal 298 dan Pasal 300), Penyidik atau Penuntut Umum, Hakim dapat melakukan penahanan Terdakwa, sehingga jika tidak hadir tanpa alasan yang sah, tidak ada kekhawatiran akan melarikan diri atau tidak mau hadir di persidangan dan jika perkara tersebut sulit pembuktiannya, maka perkara diajukan dengan acara biasa. Terhadap pelanggaran Pidana Pemilu selebihnya 48 (empat puluh delapan) pasal yang pembuktiannya mudah (sumir), maka perkaranya diajukan dengan acara singkat.

4. KUHAP mengatur tentang pengajuan perkara yan pembuktiannya sumir / mudah - diperiksa secara singkat, dan jika Terdakwanya tidak hadir, tidak dapat diputus verstek, maka berkas perkara dikembalikan kepada Penuntut Umum (vide: Bab XVI KUHAP). Selanjutnya perkara baru diberikan nomor register, jika telah diperiksa dan atau telah diputus kemudian dicatat dalam register (vide: Buku II Bindalmin).

5. Dalam hal diketemukan adanya anggota TNI melakukan pelanggaran Pemlu, maka menurut ketentuan Pasal 273 UU No.10 Tahun 2008, Penyidiknya adalah POLRI, akan tetapi Polri akan menyerahkan kepada Polisi Militer (POM), dan dengan demikian Pengadilan harus menyatakan tidak berwenang dan menyerahkan ke Pengadilan Militer (kompetensi absolut).

6. Jika pelaku pelanggaran pidana Pemilu adalah anak-anak, maka Penyidiknya tetap dlakukan oleh Polri, karena undang-undang tidak mengatur hal itu, untuk persidangan perkara di mana Terdawanya adalah anak-anak harus disidangkan oleh Pengadilan Anak oleh Hakim Khusus yang memiliki Surat Keputusan pengangkatan sebagai Hakim Anak.
Selanjutnya diharapkan bahwa penyelesaian perkara pidana Pemilu dapat berlangsung cepat sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam Pasal 255 ayat (1) s/d ayat (5) UU No. 10 Tahun 2008.